Sabtu, 25 Agustus 2012

I'm (no longer) a Yes Woman #Part1



I still remember one thing about my speech in my high school graduation. I was representing my friends in the third grade to thank and sorry -two words that usual to say in the farewell ceremony- to all members of school. At the end of my speech, i said, “As Justin Bieber conveys in his song... Never say never. I mean that we must not to say never for a good thing we have to do. Never say never for a good chance that come to us. And never say never to dream high and reach great things in our life.”

I didn’t really understand what i said that day. Until a few days ago, i found it in my contemplation. I realized that i’ve did it. I did what Justin Bieber said to never say never. You know, i had been a ‘Yes Woman’.

It started when i went to college for my first time. Then i knew that being a student of an university is a different way to be a better person, because of the bigger responsibility i must take.

In high school, all i know is.. how to reach the best result on the final exam, how to became a winner in the championship, debate competition, speech contest, olympiad, and bla..bla..bla such things. Though i didn’t get some brilliant achievements, but i used to compulsory learn those things. All i had to do is.. make my parents proud of my achievements in high school and the boarding school. That’s it.
           I went to college, then joined a forum for new students, held by student union in the university. Then i followed the activities for two days, i listened the speakers who talked about this country and its problems, and finally i carried away by oration of student president at the time. That moment made me care so much about my nation. And it’s just the beginning of my story. 

Kamis, 09 Februari 2012

Mozaik di Kaki Gunung Merapi

 
Ada sebuah potongan peristiwa yang ingin aku ceritakan kepadamu, kawanku. Tentang satu keluarga sederhana di kaki gunung Merapi.
Sore itu seusai mengajar di mushola Cangkringan, Merapi, aku dan beberapa pengajar berencana untuk mampir mengunjungi rumah seorang anak pandai yang ingin mengikuti TPA bersama kami namun selama ini terhambat oleh keterbatasan  transportasi. Kebetulan rumah yang akan kami kunjungi satu arah dengan jalan pulang ke kota dan jalan ke mushola di Cangkringan sehingga para pengajar tidak kesulitan untuk menjemput dan mengantar anak tersebut agar dapat mengikuti TPA. Setelah menyalakan motor, kami beriringan menuruni kaki gunung.
Hari sudah mulai gelap saat kami tiba di sana. Rumah itu.. aku tidak begitu ingat bentuk fisik luarnya. Yang jelas, temboknya belum sempurna jadi dan belum bercat.  Rumah itu milik kerabat keluarga mereka karena rumah mereka sendiri terkena erupsi Merapi beberapa waktu yang lalu. Kami disambut ramah oleh si Ibu yang segera mempersilakan masuk. Namun saat memasukinya lewat sebuah pintu di sudut sebelah timur, pemandangan pertama yang kulihat begitu memprihatinkan. Sang bapak sedang memperbaiki atap yang rusak menggunakan tangga dari bambu. Pecahan genting berserakan di lantai dan langit dapat terlihat jelas lewat lubang atap itu. “Anginnya kencang sekali,..”begitu si Ibu menjelaskan. Entah efek dari badai matahari atau cuacanya memang seperti ini hingga di media massa diberitakan angin kencang terjadi di berbagai penjuru nusantara dan salah satu dampaknya telah kulihat di depan mata.
Si Bapak turun dari tangga dan memberesi pekerjaannya yang terhenti karena kedatangan kami. Sambutannya hangat kepada kami. Si Ibu mempersilakan kami duduk di ruang tamu. Saat si Ibu berusaha memindahkan tangga bambu dan membawanya keluar, seorang anaknya yang berusia sekitar sebelas tahun langsung berlari dan ikut mengangkat tangga bambu di bagian lain sambil berkata, “Sini, Bu, aku bantu.” Satu teladan yang aku dapat dari keluarga ini.
Rupanya keluarga itu terdiri dari tujuh anggota. Bapak, Ibu, empat orang anak laki-laki, dan seorang anak bungsu perempuan. Si Sulung duduk di bangku SMP sedangkan Si Bungsu masih balita. Suasana rumah menjadi ramai saat anak-anak ikut berkumpul di ruang tamu. Adzan Maghrib berkumandang sehingga kami bersiap untuk shalat berjamaah. Saat pergi ke kamar mandi untuk wudhu, kulihat si Sulung sedang membuat beberapa gelas teh yang aku yakin untuk disajikan kepada kami. Anak-anak lelaki yang lain segera wudhu dan berangkat ke masjid tanpa disuruh oleh kedua orang tua mereka. Teladan lain dari keluarga ini.
Selesai shalat, benarlah kami disuguhi teh hangat dan beberapa bungkus roti. Kami berbincang-bincang mengenai sekolah anak-anak. Anak kedua akan lulus SD tahun ini dan kedua orangtuanya ingin sekolah yang berkualitas baik secara kurikulum maupun pendidikan karakternya namun tidak memberatkan soal biaya. Kebetulan ada rekomendasi beasiswa di Bogor. Bapak dan Ibu masih akan mempertimbangkannya karena jaraknya cukup jauh.
Di sela-sela obrolan kami, anak keempat bernama Firman yang masih duduk di bangku kelas satu SD merengek kepada ibunya untuk membantu mengerjakan peernya. Dengan sabar, si Ibu memberi pengertian, “Sabar, ya, nak. Ibu sedang ada tamu. Minta tolong sama mas dulu aja, ya.”
Hari sudah semakin gelap. Saatnya kami berpamitan. Kami sudah berada di dekat pintu ketika kulihat Firman menuangkan seluruh sisa air teh yang kami minum ke dalam satu gelas. Dan kemudian meminumnya. Ahh,,.sungguh tak tega aku melihat itu. Tingkahnya begitu lugu dan membuat hatiku terenyuh. Seandainya anak lain yang terbiasa berkecukupan, pasti ia akan meminta dibuatkan air teh yang masih utuh. Rezeki yang sering kita anggap sambil lalu, ternyata berarti untuk seorang anak di kaki gunung.
Kesederhanaan, kebaikan, keramahan, gotong-royong, kedisiplinan waktu dalam beribadah dan belajar, keharmonisan bersaudara tanpa ada pertengkaran, dan hormat kepada orang tua. Keluarga ini menjadi teladan di mataku. Pertemuan singkat ini selalu terbayang jelas dalam benakku hingga saat ini. Mengingatkanku untuk selalu bersyukur dan meneladani kebaikan mereka. Sebuah keluarga sederhana di kaki gunung Merapi.

Sabtu, 14 Januari 2012

Travelling? I loved to. Do you?



Someone said, "Travel: see and feel", and i think he's totally right about that. Sekarang ini travelling udah menjamur jadi hobi kebanyakan orang. Buat sebagian orang, travelling cuma selingan di sela-sela kesibukan. Buat sebagian yang lain udah jadi gaya hidup. 


Modusnya juga macem-macem. Misalnya, nih, seorang ekolog yang lagi neliti salah satu spesies baru di hutan hujan di berbagai pulau, atau fotografer yang pengen cari objek menarik buat dibidik. Ada lagi yang memang suka berpetualang ke tempat-tempat baru, atau bahkan punya obsesi buat keliling Indonesia dari Sabang sampe Merauke. Haha, ga kebayang tuh berapa lama selesainya. Yang jelas, travelling itu dilakukan orang karena perasaan senang dan tertarik dengan hal-hal baru, tempat yang belum pernah dikunjungi, atau rindu suasana berbeda. Travelling, momen bagus buat cari inspirasi saat kita ngerasa bosen sama hal-hal yang kita temui setiap hari. Kalo udah penat liat itu ituuu aja dari bangun tidur sampe tidur lagi, ga ada salahnya buat searching objek wisata menarik, packing barang bawaan, langsung tancep gas, deh. 


Selain manfaatnya sebagai pelepas penat, sumber inspirasi, dan penyalur hobi, ada juga nih gaya travelling yang 'agak' berlebihan dan sebenernya ga diperlukan. Contoh, ada orang yang suka pergi ke kota-kota besar sekadar nyari tempat makan, belanja, ato hang out. Walaupun nguras kocek, asal branded aja udah cukup ngeyakinin dirinya sendiri kalo all is well. Hidup cuma sekali, mamen! Percuma dong, kalo ga manfaatin waktu buat seneng-seneng, gitu kata mereka. Dunia ini dilihat dari segi materinya aja. Ga kepikir, deh sama apa yang bakal terjadi abis dia mati. Mereka pikir ga ada kehidupan lain selain di dunia ini. Mereka ini nih yang sering disebut kaum hedonis. Diambil dari istilah hedonisme yang diartikan secara sempit dan  bersinggungan sama materialisme. Padahal kata tetua jaman dulu tuh, "hidup itu hanya mampir minum”. Artinya, hidup itu cuma bentar. Yang kita minum pasti akan habis. Setelah itu ada kehidupan lain yang kekal, sedangkan nasib kita di sana ditentukan amal kita di dunia sekarang ini. 

Nah, daripada itu, mending ikut jejak mereka yang suka travelling di alam. Ngutip lirik salah satu lagu soundtracknya film "PSP Gie", "berbagi waktu dengan alam...kau akan tau siapa dirimu yang sebenarnya...hakikat manusia...". Ga salah lagi. Kalo kita udah menyatu dengan alam, kita jadi bisa ngerasa kecil di hadapan Tuhan. Ga ada apa-apanya, mamen! Dan mau menyatu dengan alam sebelah manapun ga masalah. Ada yang suka panjat gunung, ada yang lebih suka berenang di pantai. Ada juga orang-orang yang berani nantang maut dengan backpacking ke zone-zone ekstrem di berbagai penjuru dunia. Contohnya aja kayak yang di film "127 Hours". Tokoh utamanya diperanin James Franco yang jadi Harry Osborn di film Spiderman. Dia sampe ngorbanin tangan kanannya biar survive dan tetep hidup. Rekomendasi bagus tuh, buat para penggemar film. Hehe, bukan promosi lho. 
Kebanyakan orang pasti gak nolak kalo diajak ke tempat-tempat indah dan bebas polusi di alam bebas. Karena buat kita yang tinggal di kota dengan jumlah kendaraan tinggi, udara yang kita hirup gak sesehat yang seharusnya dan seringkali bikin sesak napas. Belum lagi stress karena beban pekerjaan atau beban kuliah. Kita memlilih pergi ke alam terbuka untuk menyegarkan tubuh dan pikiran. Kembali ke alam, kembali melihat kebesaran-Nya. Merasakan bahwa diri ini sangat kecil dan ga ada apa-apanya.
Definisi travelling mungkin akan berbeda kalo kita tanya ke semua orang. Dan pasti ada banyak tempat berbeda yang terpikirkan saat masing-masing dari kita ditanya, ke mana kau ingin pergi saat liburan?



Ada yang menjawab dengan bersemangat,
"Ke Gunung Bromo di Jawa Timur!"






"....lalu melihat sunrise
yang indah..."














Ada yang menjawab berbeda, "Aku ingin ke pantaai!" 


"...lalu melihat bayanganku di air..."

























                         


        "...bermain-main di pasir putih, menyambut ombak yang datang, 
                                  atau hanya merasakan angin yang menerpa wajahku..."








 Seorang lain menjawab, "Aku ingin keliling duniaaa!"




"...memandang Esplanade di                                     Singapura..."




"....atau mengunjungi
Twin Tower di Malaysia..."













Lain lagi kalo yang satu ini..."Aku mau lebih dekat dengan satwa!"


















Ke manapun kalian akan pergi, berbahagialah di setiap perjalanan itu. Karena emang, kesempatan ga selalu dateng dua kali. Sekalinya dapet, ga ada salahnya manfaatin sebaik mungkin. Ambil kamera, and say, "cheeeeesssseeee!" :D
Tentu travelling ga cuma bisa kita ambil seneng-senengnya aja, bro. Esensi Travelling juga ga perlu didapet jauh-jauh dan makan waktu lama. Dulu waktu ane lagi sering bolak-balik Magelang-Purworejo, ane naik bis antarkota yang berpintu dua -dan ga pernah ditutup- dengan penumpang bermacem bentuk. Kebanyakan penumpangnya masyarakat kelas menengah termasuk ane. Banyak tuh yang bawa barang jualan ato baru kulakan di pasar. Kalo pagi sekitar jam 7 ama jam pulang sekolah, busnya sampe miring, bro! Padet banget, dah! Udah panas, berebut oksigen, kehimpit sana, kehimpit sini, mana laperrr pula. 
Walaupun kudu sabar, dari situ ane bisa ngliat kehidupan orang lain. Ane bisa belajar gimana susahnya cari uang. Ane belajar dari pak sopir. Berapa kali aja tuh, mantengin jalur yang sama di belakang setir? Ane belajar dari pak kondektur. Apa ga masuk angin, ya, berdiri di pintu bus sepanjang hari? Ane belajar dari simbah-simbah yang jualan di pasar. Apa ga keberatan bawa barang dagangan segitu banyak? Kira-kira laku ga, ya? Dan banyak lagi pertanyaan yang muncul saat ane see.
Feel bakal muncul setelah see.
Hasilnya, ane belajar bersyukur. Ane ga perlu duduk berjam-jam di belakang kemudi. Ane ga perlu masuk angin buat cari duit barang seribu, dua ribu. Ane ga perlu mikul berkilo-kilo karung dagangan sampe kurus. Ane merasa beruntung. Seandainya ane jadi mereka, mungkin ane ga kuat. Begitu hebatnya perjuangan mereka buat cari nafkah untuk menghidupi keluarga.
Selain rasa syukur itu, travelling bisa memunculkan ide-ide yang ga terpikir sebelumnya. Kan sering, ya, kalo ane lagi di perjalanan trus pikiran melayang-layang sampe mana-mana. Dari hal penting sampe yang geje sekalipun :D. Ga jarang ane jadi keingetan sesuatu ato nemuin ide baru. Tr0avelling jadi runner up, deh buat kategori “tempat terciptanya ide brilian”. Juara pertamanya, jelas,... kamar mandi! Hehhe :D. Itu versi ane. Kalo ada yang versi lain silakan aja, bro :D
So, travel: see and feel.
Can you see it? And then, feel it!

Jumat, 13 Januari 2012

Goresan Kecil Anak Perindu



28 Juli 2010

Dulu, aku hidup bersamanya.
Kini, aku hidup bersama kenangan-kenangan tentangnya.
Dulu, aku dapat memeluknya.
Kini, menyentuhnya pun tak sanggup.

16 tahun 6 bulan 23 hari...
Selama itu aku dapat berkeluh kesah kepadanya,
walau tak jarang kupendam sendiri masalahku,
walau tak setiap hari ku bertemu dengannya,
walau tak setiap pertanyaanku ia jawab,
walau kadang ia seperti orang lain bagiku.

Ia sosok yang hebat. Ia sosok yang kuat. Ia selalu berusaha memenuhi permintaanku. Ia tak pernah marah jika nilaiku jelek. Ia tak pernah menyuruhku belajar. Ia tak pernah menekanku. Ia ada saat ku tak dapat mengambil keputusan. Ia ada saat kucurahkan perasaanku. Ia pemberi nasihat yang sangat baik. Ia guru bahasa Inggrisku yang canggih.

Dan ia adalah ibuku.

Saat nilai-nilaiku bagus, ibu yang akan kuberitahu pertama kali. Namun, kini semuanya menjadi tak berharga ketika aku mendapatkan semua itu karena aku selalu mempersembahkan prestasiku kepadanya. Yang terasa hanyalah hampa . . dan ironis, kurasa.

Terakhir kali kuingat pelukannya dan kurasakan hingga kini adalah saat aku dikukuhkan menjadi seorang paskibraka  Kota Magelang tahun lalu. Ia memelukku. Hangat . . dan menangis . .
Terima kasih untuk paskibraka,
karena ku tak ingat lagi pernah dipeluknya.

13 Januari 2012

Entah kenapa aku begitu bersemangat untuk menuliskan ini semua. Kisahku yang mungkin dapat kau ambil hikmahnya, kawanku.
Aku sadar bahwa aku telah kehilangan. Dan aku sadar bahwa kehilangan itu sesuatu yang pahit . . dan tiba-tiba. Seperti saat kau disuguhi segelas jamu brotowali yang tak kau ketahui sebelumnya. Hooekkss! Mungkin kau akan langsung memuntahkannya begitu saja. Begitu pula yang terjadi padaku saat itu. Saat sore itu kulihat sosoknya tak lagi ceria seperti dulu. Tubuhnya kurus dimakan kanker sampai tulang-tulangnya menonjol. Pernahkah kau bayangkan itu, kawan? Pernahkah kau bayangkan, ibumu yang baik hati itu memejamkan mata, terbaring dengan status ‘koma’ dan kau tau itu bukan pertanda baik.
Secara fisik, ia telah dikalahkan oleh sel yang telah berkembang dengan baiknya, bernama kanker. Satu penyakit yang selalu jadi momok buat semua orang. Namun selama satu tahun itu ia menghadapinya dengan keberanian. Ia masih sempat mengajar walau ia tau dengan siapa ia berhadapan. Kanker nasofaring -begitu para ahli medis menyebutnya- adalah  jenis kanker yang tumbuh di rongga belakang hidung dan belakang langit-langit rongga mulut. Penyebarannya dapat berkembang ke bagian mata, telinga, kelenjar leher, dan otak. Biasanya ditandai dengan suara berdengung pada telinga dan hidung tersumbat terus-menerus disertai pilek yang tak kunjung reda. Sebenarnya, kanker ini dapat disembuhkan dengan radioterapi dan kemoterapi. Namun, ibuku bukan tipe orang yang suka bersentuhan dengan alat-alat medis. Ia menolak dengan pendiriannya yang kuat hingga ayahku memutuskan untuk membawa ibuku berobat alternatif.
Ada hal yang perlu kau ketahui, kawanku. Aku tidak mengerti apa sesungguhnya penyakit ibuku hingga beberapa bulan setelah kepergiannya. Pun hanya aku dengar dari percakapan ayahku dan seorang temannya. Selama satu tahun yang berat, hanya ayah dan ibu mengetahui berita buruk itu. Aku hanya diberitau bahwa ada semacam polip di rongga penafasan ibuku dan menyebabkan radang disebut sinusitis. Lalu keadaan memburuk saat beberapa organ tubuh lainnya mengalami gangguan. Saat kepergian ibuku aku hanya tau itu adalah komplikasi karena ginjal dan hati ibuku tidak lagi berfungsi. 
Aku meminta penjelasan kepada ayahku mengenai hal itu. Dan sekali lagi, itu karena kemauan kuat ibuku. Ia tidak ingin anak-anaknya khawatir. Ia tidak ingin keluarga besarnya repot karena sakitnya. Dan sampai sekarang aku benar-benar tak habis pikir tentang niat baik ibuku itu. Niat baik yang pada akhirnya tidak membuat keluarganya tenang, bahkan merasa sangat sedih.
Pengobatan alternatif berbagai macam rupa telah dilakukan. Doa terus-menerus dipanjatkan kepada Yang Kuasa untuk kesembuhan ibuku. Namun, saat akhirnya ia masuk ruang VIP di rumah sakit ternama di Yogyakarta, keadaannya semakin memburuk. Dan ketika detik-detik menjadi terasa begitu lambat, doa-doaku kuubah. Aku hanya berdoa agar ibuku diberikan yang terbaik. Jika Allah masih memberinya usia, maka aku pinta Dia untuk menyembuhkan Ibu. Tapi jika Allah sudah sangat merindukan ibuku untuk pulang, maka aku pinta Dia untuk menghilangkan sakit Ibu dan membawanya ke tempat yang jauh lebih indah dibanding seisi dunia.
Ibu masih koma saat aku dan adikku berada di perjalanan menuju rumah sakit. Sampai di sana, anggota keluarga yang lain mulai menangis dan saling memberi dukungan. Saat itu aku tau, mungkin inilah waktunya. Waktu di mana aku harus merelakannya. Ku dekati tubuh ibuku yang sudah dipasangi alat bantu untuk bernafas.  Aku memeluknya, namun ia tak menyambut pelukanku. Aku memanggilnya, namun ia terdiam membisu. Aku sangat sedih, namun ibu tak menghiburku seperti biasanya. Aku hanya bisa membisikkan kalimat tahlil di telinganya dan mulai menangis. Akhirnya, waktu itu pun tiba. Elektrokardiografi menunjukkan garis datar. Jantung ibuku tak lagi berdetak. Time’s up! Semua orang di ruangan itu menangis dan secara serentak mengucap, “innaa lillaahi wa inna ilaihi raaji’uun...” 
Aku mengecup keningnya dan meninggalkan tubuhnya. Hanya satu orang yang ingin aku peluk saat itu. . Adikku. Saat itu ia masih duduk di kelas lima sekolah dasar. Ia seorang yang besar hatinya. Aku tau ia mampu menjalani cobaan ini. Namun bagaimanapun, ia adalah seorang anak. Dan aku bertekad untuk selalu menjaganya mulai saat itu. Perjuangan ibuku sejak aku dilahirkannya hingga akhir hayatnya menjadi tanggung jawabku agar semua usahanya tidaklah sia-sia. Bukan lagi saatnya mengeluh. Ini saatnya membayar hutang yang tak kan pernah terlunasi. Ini saatnya mewujudkan mimpi dan harapan yang ditanam dalam-dalam dari seorang ibu. Ini saatnya meneruskan perjuangannya, menjadi sosok yang selalu inspiratif untuk orang-orang yang mengenalnya. Ini saatnya melanjutkan semangatnya yang mengalir dalam darahku. :)
Kawanku, hidup itu tak pernah selalu indah. Ada masa di mana kau ada di puncak tertinggi dan merasa memiliki segalanya. Tapi ingat, selalu ada masa di mana kau diuji seberapa besar imanmu, dan itu tidaklah mudah untuk dilewati.
Namun jamu selalu memiliki khasiat tersendiri, kawan. Begitu pula dengan ujian Tuhan. Itu akan membuatmu jauh lebih kuat dibanding sebelumnya jika kau berhasil melewatinya dengan baik. Hikmah akan selalu ada di setiap sejarah manusia. Aku menemukan banyak hikmah di ceritaku ini dan ingin sekali  kubagikan kepadamu, kawanku. 
Saat kau kehilangan sesuatu yang berharga, percayalah pada waktu. Ia akan membantumu melupakan sedihnya kehilangan itu.
Saat kau merasa tidak lagi mendapat kasih sayang dari seseorang yang kau cintai, percayalah akan ada banyak orang lainnya yang memberikan kasih sayang kepadamu.
Saat kau merasa duniamu runtuh dan tak berharga, percayalah ada banyak orang yang sangat membutuhkan uluran tanganmu.
 Memaafkan yang paling berat adalah memaafkan diri sendiri. Untuk itu, maafkanlah dirimu terlebih dahulu agar langkahmu menjadi lebih ringan. 
Dan saat kau belum merasakan kehilangan itu, manfaatkanlah waktu dengan orang-orang yang kausayangi walau untuk sekadar saling bersapa :)