Kamis, 09 Februari 2012

Mozaik di Kaki Gunung Merapi

 
Ada sebuah potongan peristiwa yang ingin aku ceritakan kepadamu, kawanku. Tentang satu keluarga sederhana di kaki gunung Merapi.
Sore itu seusai mengajar di mushola Cangkringan, Merapi, aku dan beberapa pengajar berencana untuk mampir mengunjungi rumah seorang anak pandai yang ingin mengikuti TPA bersama kami namun selama ini terhambat oleh keterbatasan  transportasi. Kebetulan rumah yang akan kami kunjungi satu arah dengan jalan pulang ke kota dan jalan ke mushola di Cangkringan sehingga para pengajar tidak kesulitan untuk menjemput dan mengantar anak tersebut agar dapat mengikuti TPA. Setelah menyalakan motor, kami beriringan menuruni kaki gunung.
Hari sudah mulai gelap saat kami tiba di sana. Rumah itu.. aku tidak begitu ingat bentuk fisik luarnya. Yang jelas, temboknya belum sempurna jadi dan belum bercat.  Rumah itu milik kerabat keluarga mereka karena rumah mereka sendiri terkena erupsi Merapi beberapa waktu yang lalu. Kami disambut ramah oleh si Ibu yang segera mempersilakan masuk. Namun saat memasukinya lewat sebuah pintu di sudut sebelah timur, pemandangan pertama yang kulihat begitu memprihatinkan. Sang bapak sedang memperbaiki atap yang rusak menggunakan tangga dari bambu. Pecahan genting berserakan di lantai dan langit dapat terlihat jelas lewat lubang atap itu. “Anginnya kencang sekali,..”begitu si Ibu menjelaskan. Entah efek dari badai matahari atau cuacanya memang seperti ini hingga di media massa diberitakan angin kencang terjadi di berbagai penjuru nusantara dan salah satu dampaknya telah kulihat di depan mata.
Si Bapak turun dari tangga dan memberesi pekerjaannya yang terhenti karena kedatangan kami. Sambutannya hangat kepada kami. Si Ibu mempersilakan kami duduk di ruang tamu. Saat si Ibu berusaha memindahkan tangga bambu dan membawanya keluar, seorang anaknya yang berusia sekitar sebelas tahun langsung berlari dan ikut mengangkat tangga bambu di bagian lain sambil berkata, “Sini, Bu, aku bantu.” Satu teladan yang aku dapat dari keluarga ini.
Rupanya keluarga itu terdiri dari tujuh anggota. Bapak, Ibu, empat orang anak laki-laki, dan seorang anak bungsu perempuan. Si Sulung duduk di bangku SMP sedangkan Si Bungsu masih balita. Suasana rumah menjadi ramai saat anak-anak ikut berkumpul di ruang tamu. Adzan Maghrib berkumandang sehingga kami bersiap untuk shalat berjamaah. Saat pergi ke kamar mandi untuk wudhu, kulihat si Sulung sedang membuat beberapa gelas teh yang aku yakin untuk disajikan kepada kami. Anak-anak lelaki yang lain segera wudhu dan berangkat ke masjid tanpa disuruh oleh kedua orang tua mereka. Teladan lain dari keluarga ini.
Selesai shalat, benarlah kami disuguhi teh hangat dan beberapa bungkus roti. Kami berbincang-bincang mengenai sekolah anak-anak. Anak kedua akan lulus SD tahun ini dan kedua orangtuanya ingin sekolah yang berkualitas baik secara kurikulum maupun pendidikan karakternya namun tidak memberatkan soal biaya. Kebetulan ada rekomendasi beasiswa di Bogor. Bapak dan Ibu masih akan mempertimbangkannya karena jaraknya cukup jauh.
Di sela-sela obrolan kami, anak keempat bernama Firman yang masih duduk di bangku kelas satu SD merengek kepada ibunya untuk membantu mengerjakan peernya. Dengan sabar, si Ibu memberi pengertian, “Sabar, ya, nak. Ibu sedang ada tamu. Minta tolong sama mas dulu aja, ya.”
Hari sudah semakin gelap. Saatnya kami berpamitan. Kami sudah berada di dekat pintu ketika kulihat Firman menuangkan seluruh sisa air teh yang kami minum ke dalam satu gelas. Dan kemudian meminumnya. Ahh,,.sungguh tak tega aku melihat itu. Tingkahnya begitu lugu dan membuat hatiku terenyuh. Seandainya anak lain yang terbiasa berkecukupan, pasti ia akan meminta dibuatkan air teh yang masih utuh. Rezeki yang sering kita anggap sambil lalu, ternyata berarti untuk seorang anak di kaki gunung.
Kesederhanaan, kebaikan, keramahan, gotong-royong, kedisiplinan waktu dalam beribadah dan belajar, keharmonisan bersaudara tanpa ada pertengkaran, dan hormat kepada orang tua. Keluarga ini menjadi teladan di mataku. Pertemuan singkat ini selalu terbayang jelas dalam benakku hingga saat ini. Mengingatkanku untuk selalu bersyukur dan meneladani kebaikan mereka. Sebuah keluarga sederhana di kaki gunung Merapi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar